Sabtu, 17 Mei 2008

KAMPUNG YANG PENUH RINDU

Aku kembali pulang seperti sebulan yang lalu. Menunaikan kerinduanku untuk kembali ke kampung halaman. Berulang kali telah aku sempatkan. Hingga kini tidak terhitung lagi jumlah nya jika di hitung semenjak tujuh tahun yang lalu, ketika mula hijrah ke kota ini untuk menuntut ilmu. Walaupun begitu rasanya tak pernah puas-puasnya, ingin terus kembali dan menikmati suguhan ranah yang telah membesarkan aku itu. Tanah tumpah darahku. Kini setiap bulannya, dengan biasanya selalu begitu, tak pula aku pernah bosan. Karena disitu pulalah mungkin kebahagiaan ku, meninggalkannya untuk kembali merindukannya. Kalau tidak kutinggalkan, mungkin aku takkan pernah merindukannya. Begitulah kira-kira.
Kerinduan itu memang telah menumpuk tinggi di dalam dadaku. Aku ingin kembali mendengarkan sorakkan girang dari keponakan-keponakan kecil di rumahku. Walaupun sebenarnya aku lebih merindukan semua itu datang dari adik-adikku. Namun kini mereka jauh di negeri orang. Aku rindu menyaksikan mereka duduk di hadapanku dan mendengarkan ocehanku. Hanya bocah-bocah kecil ini lah yang kini jadi pengobatnya. Mereka biasanya langsung bergelayutan di tangan ku, di celanaku, atau di tas punggung ku. Aku maklum saja, itu adalah suatu petanda ada yang mereka harapkan dari kepulanganku. “Mana bengkuangnya… mana bengkuangnya…!” pegangan mereka belum akan di lepaskan sebelum aku menunaikan permintaan mereka.
Kemudian aku juga ingin menyaksikan ikan-ikan yang berenang di kolam belakang rumah. Binatang air kecil yang sudah sangat berjasa terhadap masa-masa yang telah kuperoleh saat ini. Makhluk yang telah menjadi bagian dari masa remajaku, yang memastikan sekolah ku tuntas dari benih-benih telur yang mereka tetaskan. ’Penjual anak’, sebuah icon yang turut pula menjadi sejarah dalam hidupku.
Keindahan alam negeri itu juga tak terbantahkan. Gunung Sago yang menjulang dengan gagahnya seolah mengawal dan memakukan tanah leluhurku ini di bumi pertiwi ini. Ia menghamparkan tanah yang subur. Yang kemudian di pagari oleh bukit barisan yang membentang panjang membatasi pandangan di sudut utara. Disanalah aku selama ini bernaung. Belasan tahun telah ku habiskan di situ, lebih dari separoh dari umur yang telah ku pakai saat ini. Aku merasakan keramahan negeri ini bersama manusia-manusianya benar-benar nyata. Mengesankan dan takkan terlupakan. Masa kecilku seolah mengatakan tanah itu adalah tanah surga. Suguhan alamnya sering menggugah jiwa tualang untuk bermain. Bukit gundul panjang yang pernah terbakar beberapa tahun yang lalu itu tak urung menjadi arenaku untuk mengasah keberanian menghadapi tantangan. Lerengnya yang curam dan licin itu pernah menjadi gelanggang seluncuran bersama bocah-bocah sebaya. Dengan sepotong pelapah daun kelapa, maka berselancarlah kami di tanah licin itu bak bermain ski di atas salju. Maka pengalaman-pengalaman masa kecil itu pun telah memberi pelajaran yang sangat berguna untuk menyonsong kedewasaan. Pengalaman itu telah mengajarkan tentang bagaimana menghadapi tantangan hidup. Bagai mana menapaki jalan terjal yang sulit itu walau dengan jatuh bangun, dan kemudian berhasil kembali ke puncak. Lalu kemudian menikmati keberhasilan itu, meluncur lagi kebawah hingga kembali ke titik nol. Tantangan baru akan selalu menanti, maka mendakilah kembali ketempat yang lebih tinggi.
Sungai yang mengalir di tapal batas nagari ku itu telah menjelaskan juga bagai mana mengilhami pepatah hidup yang harus di bawa kemana pun pergi. Batang Sinamar itu telah mengajariku berenang, bagai mana tetap bertahan di atas riak dan gelombang dan tidak tenggelam mengarungi hidup. Karena ia akan terus mengalir, arus nya akan membawa apapun yang ada di dalamnya kemanapun yang ia suka. Yang tak mampu bertahan akan di tenggelamkannya, di sisihkan, digulung dan dibinasakannya. Biduk-biduk kecil itu pun turut pula mengguruiku. Bahwa hidup itu bukanlah hanya sebatang badan. Ia menyadarkan aku bahwa ia juga merupakan bagian dari pilar-pilar kehidupan. Yang mampu mengarungi riak yang lebih dalam dan medan yang lebih luas.
Aku mengerti, alamlah guru terbaik ku.
Dan juga tak bisa ku pungkiri, gedung di atas tebing tinggi yang berderet panjang itu juga telah menyita sebagian kerinduan ku. Berjuta kenangan telah lahir disana. Di situlah logika ku mulai di asah, memperkenalkanku pada huruf dan angka. Seragam merah putih itulah kabanggaan ku bersama teman-teman masa kecil ku untuk mulai memaknai aksara-aksara kehidupan. Bocah-bocah pencari jati diri, penuh aksi dan tak peduli akan apapun, apalagi sebuah kekonyolan.
Bapak guru pernah bertanya,
”Apa yang di maksud dengan pantai?”
Sejenak suasana siang itu agak terhening, bocah-bocah itu sedang berfikir. Mendadak ada satu suara yang menjawab.
”Tempat mengambil pasir di belakang bukit Cinta Pak..”
Ketehuilah, yang di belakang bukit Cinta itu memang tempat orang menambang pasir yang di namai ’Pantai Gading’ oleh masyarakat sekitar. Namun itu bukan laut, melainkan sebuah sungai yang masih bagian dari Batang Sinamar.
Tanpa kami bisa menduga sebelumnya ternyata jawaban itu telah membuat kami pulang lebih awal dari biasanya. Guru itu marah dan memerintahkan kami pulang untuk kembali esoknya dengan jawaban yang benar atas pertanyaan tersebut. Kebodohan kolektif itu benar-benar telah memberikan hal tak terduga kepada kami. Parahnya lagi, hukuman itu bukannya membuat kami merasa terhukum. Diluar malah berteriak, seakan merasa bebas dari sebuah kekangan. Horee...
Tapi untuk dedikasinya, terimakasih guruku, pahlawanku.
Ah, masa kecil. Bukit Cinta. Mendengar nama itu aku jadi teringat sesuatu. Benarkah orang kampungku seromantis itu memaknai kata-kata itu, sehingga sebuah bukit pun di hadiahi nama seperti itu. Apakah yang dapat mambuat bukit itu bernama indah seperti itu. Setahuku bukit itu dulunya tidaklah itu namanya. Ada sebuah nama yang kininya mungkin sudah banyak di lupakan orang-orang di kampungku. Lebih-lebih generasi seusiaku. Bukit Pancaminan. Nama itu bukan berasal dari kisah romantisme picisan seperti nama sekarang ini. Nama itu berasal dari sebuah legenda yang melatar belakangi sejarah terbentuknya peradaban manusia di Nagari itu. Kisah seorang Datuak si Malakiauw beserta anak kemenakannya yang memulai membangun kehidupan di daerah itu, yang memberi nama sebuah tanjung yang di penuhi bunga dengan Tanjuang Bungo, yang kemudian akhirnya melatar belakangi nama nagarinya. Dan kisah mereka membawa sebuah cermin ke atas bukit itu untuk memantulkan cahaya matahari ke arah lereng Gunung Sago, dengan harapan dapat pula dibalas oleh orang yang telah bermukim di daerah yang lebih dekat dengan lereng gunung sago itu. Sebagai petanda sudah adanya kehidupan. Itulah yang membuat bukit itu bernama bukit Pancaminan.
Tapi sesudahnya aku menemukan sebuah cerita yang akhirnya itulah yang mengakhiri penamaan yang sarat muatan sejarah itu. Nama yang entah berapa tahun dipakai, mungkin juga sudah hitungan abad, harus tergantikan oleh nama dari momen yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Sebuah program pemerintah, lomba desa membuat aparat waktu itu berinisiatif mempercantik bukit itu. Dengan membuat jalan melingkar dan sebuah panorama di atasnya. Maka semenjak itu berdatanganlah muda mudi ke bukit itu untuk berpacaran, bercinta-cintaan. Tak ada legenda, tak ada kisah. Dan akhirnya bukit itu diabadikan dengan apa yang telah di padukan muda mudi di bukit itu, apa yang mereka rasakan, cinta. Ah, betapa berpengaruhnya muda mudi itu dikampungku pikirku. Sehingga perasaan hati yang mereka rasakan dapat diabadikan dengan nama sebuah bukit.
Begitulah, yang akhirnya terjadi.
Dan itu tak hanya terjadi pada hal itu saja, dan juga tidak hanya di daerah ku saja. Apapun dan di manapun itu akan dapat mengalami pergeseran seperti itu. Semisal saat aku berada dalam kamarku, maka aku akan dapat langsung menyetel musik kesayanganku. Penyanyi-penyanyi yang entah dimana ia berada saat itu, Dewa 19, Nidji, Peterpan, dan masih banyak lagi, dapat saja kunikmati di sini sesukanya kapan saja. Tapi simaklah cerita di tahun-tahun aku di lahirkan. Zamannya grup randai ’Selendang Dunia’ sedang merajai dunia hiburan di kampungku. Yang setelah generasi itu dilanjutkan oleh ’Santan Batapih’. Tak ada yang bisa menikmatinya hanya di dalam kamar saja. Kalau ingin menikmatinya harus datang berbondong-bondong ke sebuah acara hajatan, berdesak-desakan, kalau hujan harus rela kebasahan. Itulah salah satu contoh perubahan itu
Tapi lihatlah pesan-pesan yang mereka bawa. Musik-musik yang diputar zaman ini membawa pesan-pesan yang hanya mempedulikan apakah nanti karya mereka laku di jual. Tema-tema yang hanya membuat hati senang. Tak peduli baik atau buruk. Perselingkuhan di anggap asyik, pengkhianatan bisa biasa, emosi-emosi liar tak sungkan lagi untuk di tampilkan. Dan memang itu pulalah yang di inginkan kaum muda. Keadaan emosi yang belum stabil itu seakan mendapat pengesahan dari apa-apa yang mereka rasakan dari lingkungan sekitar. Maka tak heran, kegandrungan kaum muda zaman sekarang ini lebih gila. Kadang malampaui batas kenormalan akal fikiran. Itu akan sangat berbeda sekali dengan apa yang ada di zaman dahulu. Selendang Dunia dan Santan Batapih membawakan kisah-kisah semacam legenda si Malin Kundang, Sitinurbaya, Kisah Anak rantau, Kasiah tak Sampai, dan masih banyak lagi. Yang kesemuanya itu penuh dengan pesan-pesan moral.
Mungkin karena itu pulalah generasi di kampungku juga pengalami perobahan sudut pandang dalam menghadapi hidup. Dahulu kalau berbicara penuh dengan kiasan dan perlu keahlian dalam bersilat lidah, sekarang ini generasi itu dilahirkan di zaman To the point. Dahulu interaksinya penuh kesantunan kini telah berubah dengan asertif. Dahulu susah sekarang mudah. Dahulu penuh perjuangan kini penuh kemalasan.
Mungkin karena itu pulalah generasi sekaliber Mohammad Hatta tak lagi di lahirkan di negeri ini. Mereka sudah sama saja dengan negeri lain. Tak lagi ada yang dapat di andalkan. Falsafah Alam takambang jadikan guru itu tak lagi punya pengaruh besar dalam kehidupan generasi sekarang ini. Jati diri mereka sudah hilang, identitas mereka adalah sama dengan orang kebanyakan. Tak ada beda, kalau orang begitu, ia begitu pula.
Namun begitulah, aku masih merindukannya. Walau aku tak akan menemukan lagi apa-apa yang telah ada di masa lalu itu. Keadaannya sekarang sudah baru, bukit Cinta itu pun sudah di tinggalkan pemberi nama identitas itu. Kini mereka lebih memilih restoran dan kafe-kafe.
Aku akan tetap merindukannya.

September 2007

Tidak ada komentar: