Sabtu, 17 Mei 2008

Laura; Pernikahan Dini Tak Selamanya Indah

Laura menyapu lantai kamarnya sebersih-bersihnya. Karena sejak bangun dari pagi tadi, hal itulah yang paling pertama sekali mengganggu fikirannya. Sejak sore kemaren, ia sudah menyimpan kekesalannya itu. Lantai kamarnya kesat sekali. Telapak kakinya itu seakan tak sudi menginjak lantai seperti itu. Maka setelah tunainya shalat shubuh ia langsung mengerjakan niatnya.
”Lantai ini pasti sudah lama tidak di sapu, apa saja kerja si Kamila selama ini” Ia bergumam dalam hati.
Sapunya terus saja menari-nari. Dan tak sesudut pun yang tak di lewatinya. Hatinya semakin gusar juga karena baru saja tiga hari ia tinggalkan kamar ini, sampahnya sudah seperti ini banyaknya.
”Hhh.. Kamila, apakah kamu tidak peduli dengan kebersihan”
Padahal menurutnya, pekerjaan membersihkan lantai kamar seperti ini tidaklah sulit. Sapu pun ada, hanya tinggal menggunakan saja. Lima menit paling lama pasti selesai. Karena yang akan di bersihkan tidak pula banyak. Tiga ruangan di paviliun kecil ini seberapalah luasnya.
”Apa yang kamu kerjakan selama tiga hari ini Kamila?” Laura hanya menggeleng-gelengkan kepala dalam gumamnya. Ia mengira pastilah Kamila mengajak teman-temannya kesini selama ia tidak ada.
Selama tiga hari kemaren memang Laura pulang tempat asalnya. Karena tiba-tiba saja mamanya menginginkannya pulang. Laura sebenarnya belum merasa ada persoalan yang membuatnya harus pulang, lalu di cobanya untuk bernegosiasi, ia lagi sibuk mengurus skripsi. Tapi mamanya masih besikeras. Laura tak mengerti, kalau hanya untuk sekedar melepas rindu, biasanya mamanya masih mau berkompromi dengan alasan-alasan yang di berikan Laura.
”Ada apa sebenarnya, ma?”
”Tidak ada apa-apa kok, mama hanya kangen kamu saja” Jawab suara di balik Handphone nya itu.
”Biasanya Laura pulang kan masih seminggu lagi, ma...”
”Pulang sajalah, nak. Nanti mama kasih tau, ya?”
Di rasakannya bahwa keinginan mamanya itu adalah sebuah keinginan yang tak boleh di tolak. Ia pun tak punya alasan lagi untuk tidak menerimanya. Ia hanya menghela nafas panjang.
Dengan sejenak memikirkan perubahan rencana, bagaimana menyiasati pengerjaan hal-hal yang akan ia tinggalkan selama beberapa hari itu, Laura akhirnya berkemas-kemas. Ia harus meninggalkan kontrakannya itu untuk perjalanan yang mungkin akan di tempuhnya selama dua jam. Ia mempersiapkan segalanya. Pakaian, kosmetiknya, beberapa buah buku, dan tak lupa camilan selama dalam perjalanan.
Kemudian perjalanannya itu di tempuhnya dengan hati yang bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi. Apa mamanya sakit ?. Kedengaran dari suaranya sepertinya mamanya itu segar-segar saja. Tak ada sedikitpun yang menandakan kalau ia sedang sakit. Atau papa yang sakit? Ah, tidak mungkin juga. Kalau iya pastilah dari mamanya ia akan mendengar nada-nada keresahan, bukannya permintaan manja seperti itu. Kalaupun ada yang sakit biasanya mamanya akan bicara. Apa salahnya.
Lalu Laura jadi merasa sedikit merinding. Ada satu hal terpikir olehnya yang mungkin ada kaitannya dengan semua ini. Aduh, apakah skenario itu akan berlaku juga pada dirinya. Seperti dalam cerita-cerita yang pernah di dengarnya. Dan fakta-fakta yang sering muncul jika berhadapan dengan keadaan seperti ini, tiba-tiba di panggil pulang tanpa di dasari terlebih dahulu oleh sebuah alasan yang kuat. Ih... Laura jadi membayangkan dirinya nanti berhadapan dengan orang tuanya dengan suasana pembicaraan yang serius. Lalu papanya yang tercinta itu berkata,
”Ada yang ingin melamarmu, Laura”
Sungguh, pikiran itu jadi berkecamuk dalam kepalanya. Apa mungkin hal itu yang akan di alaminya. Kalau ia coba berfikir lebih jauh, peluang semacam itu cukup besar untuk di alaminya. Sebagai wanita ia sudah cukup dewasa, sebentar lagi ia akan menamatkan studinya. Lumrah saja seorang laki-laki datang pada orang tuanya dan menyampaikan niat itu. Lalu mamanya memintanya untuk pulang untuk membicarakannya.
Kalau itu benar-benar terjadi mengapa orang tuanya tidak menyikapi saja secara bijaksana. Menurutnya apa yang diinginkannya akan dapat dipahami orang tuanya, apalagi papanya. Tak ada persoalan yang ditutupinya selama ini padanya. Bisa saja papanya bilang bahwasa anaknya ingin menuntaskan studinya terlebih dahulu. Dan masih banyak lagi alasan yang masuk akal. Atau apa mungkin laki-laki itu dirasa sudah sangat cocok dengan dirinya oleh orang tuanya itu. Dan sangat perlu untuk memberi tahu Laura, kalau-kalau dirinya akan berkenan.
Laura jadi senyum-senyum sendiri memikirkannya. Jika ia mencoba menanyai hatinya yang paling dalam, sebenarnya kalau keadaannya memang seperti itu, ia juga senang. Orang tuanya pasti tahu laki-laki macam apa yang diinginkannya. Mungkin saja. Tiba-tiba senyumnya merekah disela-sela rasa senang yang diam-diam merayap dihatinya itu.
Pikiran yang berkembang itu semakin jauh melangkah. Rasa-rasanya dihati Laura takkan ada lagi hal lain yang kan menimpa dirinya selain dari itu. Dan uniknya memang rasa yang timbul di hatinya itu justru bukan sebuah keresahan ataupun kekhawatiran. Ia yakin papa-mamanya pastilah telah berniat yang baik untuk masa depannya. Ia tahu itu. Namun keyakinan seperti itu tak pula membuatnya bisa tenang. Bahkan telah memunculkan perasaan lain. Dag, dig, der...
”Hmm.. mungkin seorang yang baik telah menemui papa..” Gumamnya dalam hati, lalu hatinya seakan mau melompat !
Sejujurnya belum pernah sebelumnya ia mengalami hal seperti itu. Laura akan duduk di depan papa-mamanya dan membicarakan tentang seorang laki-laki. Walau mungkin rasanya akan sedikit malu-malu, ia nantinya akan coba-coba juga menanyakan; Apakah orangnya pandai mengaji, pa? Rajin shalat, pa? Lalu diam-diam hatinya juga memikirkan seperti apakah orangnya. Gagah kah?
Laura jadi malu sendiri, pikirannya telah terlampau jauh.
Sesampainya dirumah suasana hati seperti itu belum juga berakhir. Malah hatinya jadi sangat sumringah melihat mamanya sedang membersih-bersihkan pekarangan. Tak biasanya ia seperti itu, seperti baru pulang dari rantau jauh saja.
”Ma..” Sapanya sambil bergegas mencium tangan mamanya, dengan suasana hati yang di tahan-tahan.
”Akhirnya kamu pulang juga, Laura” Sambut mamanya.
Lalu ia melangkah masuk setelah melepas rindu sekadarnya dengan mamanya itu. Dalam hatinya ia masih mengira-ngira mamanya belum akan mau membicarakannya sekarang. Tunggu papa pulang dari kantor dulu. Mungkin malam nanti. Diaraknya saja tas besarnya itu langsung menuju kamar. Ah, rupanya sudah ada yang lebih duluan hadir. Pintu kamarnya itu sedang terbuka lebar. Kiranya adik perempuannya itu pulang juga. Dilihatnya kedalam, adiknya itu sedang shalat. Terlihat khusu’ sekali. Agak lama juga, barulah selesai.
”Aku aja shalat tidak selama itu, Dek” pikirnya dalam hati. Adiknya itu memang semakin fanatik saja, lebih-lebih setelah ia ikut kegiatan kerohanian. Kampus adiknya itu memang tak hanya sekedar lebih baik mutunya, namun orang-orangnya juga banyak yang lebih baik agamanya. Pikirnya lagi.
”Eh, mbak. Baru sampai ya?” adiknya langsung menyapa.
”Iya, Adek kapan sampainya?”
”Aku sudah dari kemaren di sini, mbak”
”Lho, ninggalin kuliah dong”
”Tidak apa-apa, mbak. Ada yang lebih penting. Lagian ambil jatah libur sesekali kan ngak apa-apa”
”Ya sudah, mbak shalat dulu ya?”
Selesai shalat Laura mencoba mengungkit apa yang di penasarankannya dengan adiknya itu. Kalau-kalau ia tahu apa musababnya tiba-tiba ia mama memanggilnya pulang.
”Eh, dek. Memangnya Adek di suruh pulang juga ya?”
”Kalau iya, memangnya kenapa mbak” jawab adiknya itu dengan bercanda.
”Pasti ada yang penting, kok mbak tidak di kasih tau, sih”
”Oo.. Rahasia dong. Mau tauuu aja.. hi hi hi.”
”Please deh, kasih tau mbak dong, dek..”
”Ini suprise. Nanti malam mbak pasti tahu. Papa yang akan memberi tahunya pada mbak. Sabar ya?”
”Ih, adek ini. Bikin mbak penasaran aja. Kalau adek tidak kasih tau, mbak tidak mau ngomong lagi sama adek”
”Maksa nih ye..?”
”Ayolah dek, mbak serius”
”Begini mbak, bukannya adek merahasiakan nya pada mbak. Takutnya adek salah ngomong. Biar papa aja nanti yang jelasin. Mbak ngerti kan?”
”Serius amat kayaknya. Seperti ada yang mau di nikahin aja. Atau apa iya dek? He he he...” Laura sebenarnya sengaja menembaknya dengan gamblang seolah tak ada beban. Sebab hatinya tak kuasa lagi menahan penasaran.
Tapi adiknya itu tak lagi menjawab. Nah, agak-agaknya tebakannya tak meleset. Buktinya, adiknya tidak membantah. Pastinya keluarganya akan bicara serius malam ini. Hati Laura bertambah yakin.
Siapa laki-laki itu ya? Hati Laura makin bertanya-bertanya. Padahal sebelumnya ia tidak memiliki sinyalemen-sinyalemen bahwa itu akan terjadi pada nya. Apa ada laki-laki yang telah meliriknya diam-diam? Batinnya kemudian.
Itu baru gentleman, komentanya dalam hati. Dari pada nembak cewek untuk keperluan yang tidak jelas, lebih baik seperti ini. Perhatikan saja dari jauh, lalu kalau dirasa sudah cocok, baru tembak saja dengan lamaran. Bukannya coba-coba dulu dengan pacaran, kemudian kalau di rasa tidak cock bisa cari yang lain. Lha, mana ada di dunia ini orang yang sempurna. Itu hanya memperturutkan hawa nafsu.
Tapi hatinya benar-benar tidak bisa dilepaskan dari rasa penasaran itu. Apa mungkin ia tidak merasakan sama sekali gelagat-gelagat seperti itu. Jujur di akuinya memang selama ini ia tidak berpengalaman dengan hal itu. Ia tak paham bagaimana caranya mengetahui bahwa seorang laki-laki itu sedang menaruh hati atau tidak. Bagi Laura kadang hal itu seperti meraba-raba dalam gelap, sesuatu yang dirasakan tapi sulit di tebak kebenarannya.
Pernah suatu kali ia merasakan seorang laki-laki begitu baik padanya. Sehingga membuat hati Laura sempat berbunga-bunga. Dikiranya lelaki itu sedang jatuh cinta padanya. Tapi dari hari ke hari begitu-begitu saja. Tak ada peningkatan semacam ungkapan isi hati yang nyata ataupun isyarat-isyarat yang lebih jelas. Walupun sebenarnya ia tidak membuka diri untuk berpacaran, tapi hati kecilnya seakan selalu menunggu akan terjadinya sebuah perkembangan itu. Lelaki itu memang di sukainya. Difikirnya waktu itu kalau memang semuanya terjadi, ia akan menyikapinya secara bijaksana. Akan dikatakannya semacam ini: ” Kembalilah suatu saat. Kalau memang serius, jangan seperti ini” biar laki-laki itu menerjemahkannya sendiri. Tapi semua itu hanya tinggal rencana. Ia sempat kecewa. Sesudah itu ia hanya beranggapan telah salah menilai. Mungkin ia terlalu berperasaan.
Lalu sekarang ini apa mungkin ia terlalu bodoh untuk dapat mengetahui hal-hal semacam itu? Apapun bisa terjadi, pikirnya lagi.
Sampailah saatnya Laura berhadapan dengan seluruh keluarganya. Setelah menunaikan makan malam barulah papanya membuka pembicaraan mengenai hal yang di nati-nantinya itu.
”Bebarapa waktu yang lalu ada seorang laki-laki yang datang dan mengutarakan ingin meminang putri papa”
Benar sekali ! Tidak salah lagi, Laura makin antusias menunggu kelanjutannya.
”Laki-laki itu masih berasal dari daerah kita ini. Papa mengenalnya cukup baik. Ia putra sulung Haji Sulaiman. Namanya Fadli.”
Oh? Fadli? Laura juga mengenalnya dengan baik. Mereka bersahabat. Bukankah ia juga masih kuliah dan sekampus dengan adiknya. Laura sudah mengenalnya sejak bangku SMU. Orangnya baik dan...
Tiba-tiba saja ada perasaan yang mekar dan membuncah di hati Laura. Mukanya yang telah bersemu merah itu ia coba sembunyikan dengan merunduk.
”Untuk itu sebelum papa menentukan sikap, papa ingin mendengar pendapat dari kalian terlebih dahulu. Terutama kamu Laura...”
Sejenak ucapan itu terhenti.
”Sebagai putri papa yang tertua, papa ingin mendengar pendapatmu tentang keinginan orang itu. Ia ingin mengambil adikmu Andini untuk di jadikan istrinya.”
Andini ???... Laura berteriak dalam hati. Ada perasaan aneh yang kemudian terasa telah menghujam perutnya.
”Papa mengerti, Dini lebih muda usianya dari mu. Kuliahnya saja baru berjalan tiga semester. Untuk itulah papa ingin mendengar pendapatmu”
”...Laura menyerahkan saja pada papa..” suara yang di keluarkannya itu parau. Laura sebenarnya sangat khawatir kalau suara itu memancing kecurigaan atas perasaan yang sedang di alaminya. Perutnya panas, begitu juga dengan mukanya. Ada mual... Ia sangat malu.
”Baikalah kalau begitu, sebenarnya papa juga telah menyampaikan pada nya kalau bisa niatnya itu di tunda dulu. Tapi hatinya keras juga, lebih-lebih ia juga telah mengemukakan alasan-alasan yang membuat papa merasa tak baik menolaknya. Rupanya anak zaman sekarang ada yang lebih baik memahami agama. Papa jadi percaya padanya. Apa lagi Dini juga bersedia. ”

***

Suasana hati seperti itu masih terbawa-bawa sampai sekarang oleh Laura. Sehingga tak heran ia menjadi gusar menyaksikan ini. Kedatangannya sore kemaren harus mendapati lantai bertebaran sampah. Ia merasa marah menyaksikannya. Dilihatnya Kamila tak peduli sedikit pun dengan hal itu. Maka hari itu pun Laura menunjukkan ketidak peduliannya. Ia tak mau menegurnya. Ia merasa itu lebih baik, karena ia pun merasa telah tidak di pedulikan. Oleh semuanya, siapapun itu. Apa ada orang yang mengerti akan dirinya saat ini?. Tidak. Tidak papanya, mamanya, Andini, apalagi orang semacam Fadli. Mungkinkah tuhan juga tidak peduli dengan perasaannya?
Lalu dipandanginya wajah Kamila sekali lagi. Ia juga tak peduli apakah wanita ini mau shalat shubuh atau tidak, mau masuk surga atau neraka. Tapi ...
”Astaghfirullah...” cepat-cepat ia buang semua fikiran-fikiran seperti itu. Ia tersadar, untuk apa ia harus mengingkari semuanya. Kemudian begegas ia mendekati Kamila..
”Bangun, bangun Kamila. Sudah shubuh...”

Februari 2008

Tidak ada komentar: